Thursday, January 31, 2013

Kompleksitas Kesuksesan dan Kebahagiaan

Anda seorang orang tua yang ingin dicintai anak-anak Anda. Karena itu, Anda meminta mereka untuk mencintai Anda. Mereka justru semakin menjauh.


Anda seorang yang sedang mencari cinta sejati. Karena itu, Anda menghabiskan waktu untuk perawatan kecantikan, berusaha menampilkan diri Anda yang terbaik dan sebisa mungkin menutupi kekurangan Anda. Anda ingin menunjukkan bahwa Anda lebih istimewa dibanding kandidat lainnya. Cinta sejati justru tidak pernah datang.

Anda seorang pemilik usaha yang ingin mencapai sukses setinggi-tingginya. Anda berusaha mencari segala cara untuk menurunkan biaya dan menaikkan harga. Dalam jangka pendek, cara tersebut kelihatan berhasil, namun perlahan-lahan pelanggan mulai meninggalkan produk-produk Anda.


Anda seorang pencari kebahagiaan. Anda berusaha menciptakan lingkungan yang bisa memberi Anda kesenangan terus menerus. Anda justru merasa bosan dan hampa.


Sementara itu, Anda melihat orang-orang yang kelihatannya tidak berupaya sekeras Anda justru berhasil menggapai apa yang Anda idam-idamkan.


Bila Anda (atau orang-orang yang Anda kenal) pernah mengalaminya, menurut John Kay, seorang ekonom terkemuka Inggris, hal itu adalah hasil dari prinsip obliquity. Kay berpendapat, hal-hal penting yang melibatkan partisipasi orang lain — seperti kekayaan berlimpah, cinta kasih, kebahagiaan — dan yang melibatkan sistem yang kompleks seperti kelestarian lingkungan hidup, lebih baik dicapai dengan cara-cara tidak langsung. Pencapaian yang dilakukan secara langsung, walau mungkin bisa memberikan sukses sesaat, namun dalam jangka panjang bisa menjadi bumerang.


Sepintas pendapat tersebut kedengaran kurang masuk akal. Bukankah orang-orang yang berusaha kaya akan berusaha lebih keras dibanding orang yang tidak melakukan apa-apa? Bukankah kerja keras sangat dihargai? Bukankah orang yang secara spesifik mencari pasangan hidup akan memiliki probabilitas lebih tinggi untuk mendapatkan pendamping hidup?


Menurut Kay, dalam batas-batas tersebut, jawabannya adalah “YA”. Orang-orang yang berusaha untuk kaya secara rata-rata pasti lebih kaya dari yang tidak berusaha. Dan demikian juga untuk hal-hal lainnya. Namun, bila Anda ingin benar-benar kaya, benar-benar sukses, benar-benar bahagia, Anda dianjurkan untuk tidak mengejar tujuan tersebut secara langsung. Tentu saja Anda tetap harus bekerja keras, namun kerja keras tersebut dilakukan demi alasan lain.


Lihat saja daftar orang-orang kaya versi Forbes atau Fortune. Bill Gates, yang selalu menempati ranking orang terkaya di dunia selama beberapa tahun terakhir, tidaklah menghabiskan waktu untuk menghitung penghasilannya setelah mendirikan Microsoft. Apa yang ada di pikirannya adalah membuat sistem operasi dan perangkat lunak komputer yang lebih baik dan mengejar mimpinya untuk melihat setiap orang memiliki satu komputer. Demikian juga partnernya, Paul Allen. Setelah menjadi super milyuner, kedua orang ini tetap tidak mendewakan uang. Gates dan Allen adalah penyumbang aktif untuk organisasi-organisasi sosial. Kegiatan-kegiatan filantropis Gates dan Allen benar-benar tulus dan keluar dari lubuk hati terdalam mereka, bukan sekedar untuk membangun public image yang bagus. Pierre Omidyar dan Jeff Skoll, mendirikan eBay bukan karena berharap menjadi milyuner suatu saat nanti. Mereka melakukannya karena percaya pada kekuatan pasar bebas yang direplikasi di dunia maya. Baik Omidyar atau pun Skoll sekarang lebih aktif dalam dunia filantropis dibanding mengurusi eBay.


Dan orang kedua terkaya di dunia? Warren Buffett, sang investor nomor satu di Amerika Serikat. Buffet sampai saat ini masih tinggal di rumahnya di Omaha yang sudah ditempati 50 tahun. Mobilnya juga masih mobil lama meski kekayaannya hanya bisa diimbangi oleh Gates. Buffett sendiri mengaku dia tidak tertarik dengan uangnya, tapi proses penciptaan nilai lewat perusahaan-perusahaan yang dibelinya. Sekitar 90% kekayaan pribadi Buffett disumbangkan untuk tujuan amal.


Berbeda dengan pandangan umum, orang-orang yang super kaya tidak memikirkan uanguang, dan uang. Bagi mereka, uang justru merupakan hasil sampingan dari pengejaran mimpi mereka dengan gairah dan kepercayaan. (Untuk para wirausaha, kejarlah mimpi Anda, bukan uang.)


Dan siapa yang lebih berbahagia dan sukses menurut Anda: Bunda Theresa atau Michael Jackson? Dalai Lama atau Suharto? Negara paling bahagia sedunia? US? Prancis? Jepang? Australia? Italia? Bukan.. bukan.. Menurut World Values Surveys (WVS) yang dilakukan oleh University of Michigan, peringkat negara-negara paling bahagia tidak berkorelasi langsung dengan rata-rata pendapatan perkapita penduduknya. Memang di peringkat atas terdapat negara-negara kaya seperti Denmark dan Finlandia, tetapi negara-negara berkembang seperti Nigeria, Meksiko, Venezuela, El Salvador, dan Puerto Rico juga sering menempati posisi atas. Indonesia? Kita menduduki papan tengah dan masih lebih baik dari beberapa negara maju lainnya seperti Italia, Jepang, dan Korea Selatan. Yang menarik dari ranking ini adalah: negara-negara yang menjunjung tinggi nilai kekeluargaan, tidak terlibat konflik bersenjata, dan tidak terlalu materialistis adalah negara-negara paling bahagia di dunia. Negara-negara maju yang aman dan memiliki tunjangan sosial yang baik (seperti Denmark dan Finlandia) juga memiliki peringkat yang tinggi. Sementara negara-negara maju yang menunjukkan kompetisi yang tinggi atau hedonis seperti Jepang tidak memiliki ranking yang terlalu baik. Paling parah adalah negara-negara yang masih dilanda konflik bersenjata di dalam negeri atau dengan negara lain seperti Irak atau Zimbabwe.


Prinsip obliquity ini masuk akal karena kita hidup di dunia yang digerakkan oleh sistem yang kebanyakan komponennya di luar kendali kita. Logika sederhana “Bila A lalu B” tidak laku di sini. Yang terjadi umumnya adalah: “Bila A, lalu B dan C; B mempengaruh C dan D; D mempengaruhi A, dst…” Belum lagi bila kita berhadapan dengan sesama manusia yang tingkah lakunya sukar diprediksi. Karena itu, pengejaran tujuan yang bersifat langsung kadang sulit diprediksi keberhasilannya.


Lalu apa yang harus dilakukan untuk mencapai hal-hal penting tersebut?


Kita jelas tidak bisa menemukan jawaban lengkap. John Kay juga tidak berani menawarkan jawaban. Tapi, hal-hal yang diajarkan oleh agama dan orang-orang bijak sejak ribuan tahun lalu mungkin bisa dijadikan titik awal (paling tidak, bila ajaran tersebut mampu bertahan ribuan tahun, pasti ada alasannya). Berdoa dan percaya pada Tuhan. Kenali dan jadilah diri sendiri. Bersikap jujur. Berilah sebelum meminta. Berilah cinta tanya syarat. Kerja keras. Tekun. Temukan tujuan hidupmu dan jalankan. Tidak mudah memang, tapi bisa jadi itu juga alasan mengapa sedikit dari kita yang bisa benar-benar mencapai hal-hal penting tersebut.

Thursday, January 3, 2013

Kompleksitas Dan Kecerdasan (Sebuah Perenungan)


Dalam buku In Search of Excellence (Tom Peters & R.H. Waterman), ada secuil cerita menarik yang mereka dengar dari Gordon Siu. Siu menceritakan tentang eksperimen di mana beberapa ekor lebah dan beberapa ekor lalat ditempatkan di dalam sebuah botol. Botol tersebut lalu diletakkan horisontal (memanjang) dengan bagian pantatnya yang tertutup dihadapkan ke jendela yang terkena sinar matahari, sementara bagian leher botol yang terbuka membelakangi jendela.
Lebah-lebah, yang terkenal sebagai salah satu serangga tercerdas, mati-matian berusaha keluar dari botol dengan terbang menuju ke arah cahaya (jendela). Karena cerdas, mereka berusaha mencari jalur terdekat untuk pulang ke rumah. Karena itu, mereka bertekad terbang menuju ke arah jendela apa pun resikonya. Namun karena arah tersebut tertutup bagian belakang botol, usaha mereka berakhir tragis. Para lebah akan mencoba terus sampai mati kecapaian.
Sementara lalat, yang terkenal sebagai serangga bodoh dengan otak secuil, terbang kesana kemari tanpa tujuan yang jelas. Walau demikian, perlahan-lahan tapi pasti, satu per satu dari mereka berhasil menemukan jalan keluar melalui leher botol.
Apa artinya hasil eksperimen tersebut buat kita?
Kecerdasan dan ketekunan belaka ternyata bukanlah modal utama buat sukses, terutama bila kondisi berubah drastis. Tujuan kita boleh tetap, tetapi kita terkadang harus mengambil jalan memutar bila ingin sampai di tujuan. Lebah yang cerdas memang akan mencapai tujuan lebih cepat dibanding lalat bila tidak ada halangan, tetapi bila ada halangan menanti atau lingkungan berubah (terperangkap di dalam botol yang diletakkan membelakangi jendela), sikap keras kepala mereka akan berbuah bencana. Justru upaya coba-coba yang dilakukan lalat adalah strategi yang lebih tepat.
Kecerdasan dan keahlian sering juga membutakan kita dengan membuat kita melihat masalah melalui kaca mata kuda. Bila kita memegang palu, semua kelihatan seperti paku. Kita hanya bisa melihat satu arah saja tanpa mempertimbangkan kemungkinan lain, sementara untuk menghadapi perubahan, fleksibilitas lebih dibutuhkan.
Hal yang sama juga berlaku untuk penentuan strategi perusahaan dan rencana masa depan pribadi. Dalam konteks dunia yang berubah cepat ini, apakah strategi yang Anda jalankan mengikuti cara lebah yang keras kepala, atau lalat yang mencoba berbagai alternatif lain ketika menemui kegagalan?

Tuesday, January 1, 2013

The 2013 Verdict

Tahun baru......it's become an annualy habit said some people.....some people said "Hari gini masih ngerayain tahun baru!!!".......Dan kita masing-masing punya beragam cara, aktivitas utk menutup akhir tahun. Bagi saya ndak masalah kalau kita merayakan tahun baru, kedatangan suatu awal baru, hanya saja yang terpenting adalah kita sungguh mendapatkan manfaat positif dari aktivitas dalam menyambut tahun baru tersebut.
Nah, melalui perenungan akhir tahun 2012 lalu saya bertanya- tanya sendiri kenapa sich kita harus ada perayaan tahun baru?
Esensi yang saya dapatkan dari hasil perenungan tentang hal ini adalah kita butuh suatu awal yang mengesankan, kita butuh semangat yang diperlukan untuk mengisi periode satu tahun akan datang, kita terbiasa dengan kebiasaan mengawali dan mengakhiri dengan sesuatu yang mengesankan, dan di atas segalanya seperti yang Abraham Maslow katakan kebutuhan tertinggi manusia bukanlah materi belaka tapi apresiasi terhadap diri kita (Self Esteem), maksudnya untuk menghargai diri kita sendiri, menghadiahi diri sendiri untuk menjadi semangat mengisi tahun yang baru.
Jadi di sini yang terpenting apa sich makna perayaan itu sendiri bagi kita? Kalau aktivitas perayaan tahun baru semata-mata untuk menghabiskan waktu akhir tahun bersama keluarga, teman, ataupun rekan kerja dan kita sendiri hanya mendapatkan diri kitadi tanggal 1 Januari tahun baru hanya rasa kantuk berat, cape, dan lebih-lebih ada semacam perasaan kekosongan atau datar untuk menjalani tahun baru, menurut saya kita perlu instropeksi bagaimana cara kita menghabiskan waktu akhir tahun.
Betul, saya setuju bahwa periode satu tahun telah lalu dengan segala kepenatan, stress kerjaan, atau seribu alasan lainnya. Namun walaupun Abraham Maslow bilang kebutuhan tertinggi kita adalah self esteem, tentunya kita harus menempatkan arti penghargaan diri dalam arti positif. Maksudnya disini adalah ......"Kesinambungan pengembangan diri kita dalam mencapai potensi optimum kita dalam segala aspek kehidupan"..... itulah esensi dari perayaan tahun baru menurut saya yang dalam segala bentuknyaa jangan sampai hilang ketika kita menyambut tahun baru......So itulah yang saya dapatkan kemarin....Selamat mengisi dan menjalani tahun 2013 dengan segala keindahannya!!!
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...