Showing posts with label Our Brain. Show all posts
Showing posts with label Our Brain. Show all posts

Thursday, November 3, 2011

Shocked by the possibility of centralized AI

















Two figures above is comparing Human Synapse activity with Internet activity. And the result shows surprising similarity....

At the first, I've not surprised with the figure...but when I began to continue tracking in my mind, I've found something ineterest that could't make me stop thinking about it. In fact I knew the similarity since a few years back. I've known it but never try to think it more.

Without any reason, I figured :" Yeah...it's possible if our brain neural network be the same as internet traffic visualization since neurons, or nerve cells, each have a pair of projections—the axon and the dendrite, which transmit and receive impulses, respectively. On the other hand the internet especially in P2P sharing have Client Servers and each have pair of projections - the suppliers and the consumers of resources. Yap, it was a suitable analogy...I thought.

But....suddenly, without any reason, I've a question in my mind....Is it possible if once time in the future of the world will have one centralized artificial intelligence ( i called it) that can fully control all the network ( all the brain)  using internet or other form of electronic device ( like immersed nano chip or internet network program which can penetrate and fully take control our mind, etc).

Nowadays the possibility of one mandatory artificial intelligence which can control the human brain increasing since the nano technology discovered. The application of nano technology influence in neuro science, biotechnology, information technology significantly. 

Imagining it, I can say my negative perception is more dominate my mind than positive perception...I knew it was not fair .... this happened to me because since I was young I have raised in Christianity Doctrine that said in the end of days there will appear deceivers that will use the immersed chip in human body to control us....

Later I decided not to use that doctrine again since I grew up in maturity and my reading experience.. so I prefered to compare this matter wisely...when I did it, I got one sentence to conclude my thought about it :

In a dynamic and uncertainty thing, there will always be a chance that a new thing can be exploited to have the positive impact or negative impact. And we are human become the decision maker to it.
So back to my spontaneous reaction to this matter, I must observe this matter with all the possibilities impact to us as a human being. And I got whatever the new thing arise before us, it is our decision as a human being to bring it to the positive thing for human kind or vice versa....

And I decide to believe that both of neuro science or information and communication technology progress/ improvement will bring the positive impact for humand kind....

Finally I decide not to fear about the negative impact from the possibbility emergence of centralized artificial inteligence that can control our mind.

Wednesday, June 22, 2011

Positive Mindset dalam Empat Level Gelombang Otak


Dalam tulisan mengenai Law of Attaction (Hukum Tarik Menarik) — yang bisa Anda baca disini dan disini — kita telah membahas mengenai betapa sesungguhnya pola pikir dan rajutan imajinasi kita memiliki pengaruh yang signifikan terhadap sejarah masa depan hidup kita.
Demikianlah, jika kita selalu mampu menganyam pola pikir yang guyub dengan energi positif – dengan energi tentang keyakinan-diri, dengan pancaran optimisme yang kokoh, dan dengan sikap hidup yang selalu penuh rasa sukur – maka ada peluang besar bahwa hidup sejati kita akan benar-benar dilimpahi oleh sederet narasi tentang keberhasilan.

Sebaliknya, jika bentangan hidup kita selalu diharu-biru oleh rajutan pola pikir yang negatif – tentang bayangan kelam kegagalan, tentang rasa tak percaya diri, tentang kegamangan, dan sikap hidup yang selalu mengeluh serta menyalahkan pihak lain (tanpa mau jernih melakukan introspeksi) – maka besar kemungkinan hidup nyata kita benar-benar akan dipenuhi dengan elegi pilu kemalangan dan kenestapaan.
Itulah mengapa kaum bijak bestari memberi petuah agar kita bisa selalu melentikkan api optimisme dalam diri kita dan juga mampu merawat pola pikir positif. Positif melihat masa depan kita, positif melihat segenap tantangan yang menghadang, dan positif dalam berpikir serta berimajinasi.
Soalnya kemudian adalah : menginjeksikan daya positif ke dalam sel-sel otak kita ternyata tak semudah membikin indomie rebus. Acap ketika dihadapkan pada tantangan yang membuncah atau kerumitan masalah yang menghadang, pikiran kita langsung goyah dan berpikir : ah, saya memang tidak mampu melakukannya…..saya mungkin tidak bisa meraih impian yang saya cita-citakan…..yah, memang ini suratan nasib saya…….(Duh!).
Jadi bagaimana duuoong? Apa yang mesti dilakoni agar mentalitas positif dan spirit keyakinan itu tak langsung layu ketika badai tantangan datang menghadang? Apa yang mesti diziarahi agar virus positiv itu terus menancap dalam serat otak kita bahkan ketika lautan masalah terus menggelora, menghantam biduk perjalanan kita?
Beruntung, para ahli saraf (neurolog) telah menemukan jawabannya. Dan jawabannya terletak pada empat level gelombang otak kita. Melalui serangkaian eksperimen dan alat ukur yang bernama EEG (Electro EncephaloGram), mereka menemukan ternyata terdapat empat level getaran dalam otak kita. Mari kita simak bersama empat gelombang kesadaran itu.
Beta (14 – 100 Hz). Dalam frekuensi ini kita tengah berada pada kondisi aktif terjaga, sadar penuh dan didominasi oleh logika. Inilah kondisi normal yang kita alami sehari-hari ketika sedang terjaga (tidak tidur). Kita berada pada frekuensi ini ketika kita bekerja, berkonsentrasi, berbicara, berpikir tentang masalah yang kita hadapi, dll. Dalam frekuensi ini kerja otak cenderung memantik munculnya rasa cemas, khawatir, stress, dan marah. Gambar gelombang otak kita dalam kondisi beta adalah seperti dibawah ini.
400px-eeg_betasvg.png
Alpha (8 – 13.9 Hz). Ketika otak kita berada dalam getaran frekuensi ini, kita akan berada pada posisi khusyu’, relaks, meditatif, nyaman dan ikhlas. Dalam frekuensi ini kerja otak mampu menyebabkan kita merasa nyaman, tenang, dan bahagia. Berikut gambar gelombang alpha.
400px-eeg_alphasvg.png
Theta (4 – 7.9 Hz). Dalam frekuensi yang rendah ini, seseorang akan berada pada kondisi sangat khusyu’, keheningan yang mendalam, deep-meditation, dan “mampu mendengar” nurani bawah sadar. Inilah kondisi yang mungkin diraih oleh para ulama dan biksu ketika mereka melantunkan doa ditengah keheningan malam pada Sang Ilahi. Berikut gambar gelombang otak kita ketika berada dalam kondisi theta.
400px-eeg_thetasvg.png
Delta (0,1 – 3,9 Hz). Frekuensi terendah ini terdeteksi ketika orang tengah tertidur pulas tanpa mimpi. Dalam frekuensi ini otak memproduksi human growth hormone yang baik bagi kesehatan kita. Bila seseorang tidur dalam keadaan delta yang stabil, kualitas tidurnya sangat tinggi. Meski tertidur hanya sebentar, ia akan bangun dengan tubuh tetap merasa segar.
Nah, penyelidikan menunjukkan bahwa proses penumbuhan keyakinan positif dalam pikiran kita akan berlangsung dengan optimal jika otak kita tengah berada pada kondisi Alpha (atau juga kondisi Theta). Dalam frekuensi inilah, kita bisa menginjeksikan energi positif dalam setiap jejak sel saraf kita secara mulus. Apabila kita merajut keyakinan positif dan visualisasi keberhasilan dalam kondisi alpha, maka rajutan itu benar-benar akan menembus alam bawah sadar kita. Pada gilirannya, hal ini akan memberikan pengaruh yang amat dahsyat pada pola perilaku kita ketika berproses menuju puncak keberhasilan yang diimpikan.
Pertanyaannya sekarang adalah : bagaimana caranya agar kita bisa berada kondisi alpha?
Bagi Anda yang muslim, ada satu langkah yang mujarab : sholat tahajud di tengah keheningan malam (Jika Anda beragama Kristen, mungkin medianya adalah dengan melakukan “retreat”).
Begitulah, para kaum bijak bestari berkisah, dalam momen-momen kontemplatif ketika bersujud dihadapan Sang Ilahi, selalu ada perasaan keheningan yang menggetarkan, perasaan khusyu’ yang sungguh menghanyutkan. Saya berpikir perasaan ini muncul karena saat itu kondisi otak kita sedang berada pada gelombang alpha. Dan percayalah, dalam momen itu, kita dengan mudah bisa memasukkan energi positif dan spirit keyakinan dalam segenap pikiran kita. Dalam momen inilah, dalam hamparan kepasrahan total pada Sang Pencipta dan rasa syukur yang terus mengalir, kita bisa merajut butir-butir keyakinan positif itu dalam segenap raga kita. Dalam segenap jiwa dan batin kita.
Maka mulai malam ini………………ditengah kesunyian malam, bentangkanlah sajadah disudut rumah kita, basuhkan air wudhu, dan tegakkan sholat tahajud dengan penuh keikhlasan. Lalu, ditengah keheningan yang menentramkan, lantunkanlah harapan positif dan doa-doa itu dengan penuh keyakinan……Mudah-mudahan kita semua bisa melangkah menuju pintu keberhasilan dan kebahagiaan. Disini dan “Disana”.
Source: http://strategimanajemen.net/best-articles/ | created by: Yodhia Antariksa, Msc

Friday, June 10, 2011

Once Again About Tools for Thinking


302

Forget what worked five years ago, last year, or even what is working today. Concentrate on what will work next. Don't just forget your ten core beliefs but vigorously attack them. Forget hesitation - try anything, rather than navel gazing looking for what will work. "you miss 100% of the shots you don't take" (Gretzky, cited in Peters) Forget failure. By embracing failure, we are not scared by the risk of failure. Forget Blockbuster products and services - the blockbusters are only recognisable after the fact - Tom Peters

I'll describe a symposium over at Edge.org on what scientific concepts everyone’s cognitive toolbox should hold. After a while I didn't write anything in this blog, now I try to share what I get from many article tracking related to thinking approach. Surely there are a huge approach for us to explore the human thinking approach, but for this time I feel the most enlightening one has been written by David Brooks-A New York Times Collumnist. He said that there were many superb entries in that symposium, and he only had space to highlight a few, so here is his sparkle opus.


Evgeny Morozov, the author of “The Net Delusion,” nominated the Einstellung Effect, the idea that we often try to solve problems by using solutions that worked in the past instead of looking at each situation on its own terms. This effect is especially powerful in foreign affairs, where each new conflict is viewed through the prism of Vietnam or Munich or the cold war or Iraq.

Daniel Kahneman of Princeton University writes about the Focusing Illusion, which holds that “nothing in life is as important as you think it is while you are thinking about it.” He continues: “Education is an important determinant of income — one of the most important — but it is less important than most people think. If everyone had the same education, the inequality of income would be reduced by less than 10 percent. When you focus on education you neglect the myriad of other factors that determine income. The differences of income among people who have the same education are huge.”
Joshua Greene, a philosopher and neuroscientist at Harvard University, has a brilliant entry on Supervenience. Imagine a picture on a computer screen of a dog sitting in a rowboat. It can be described as a picture of a dog, but at a different level it can be described as an arrangement of pixels and colors. The relationship between the two levels is asymmetric. The same image can be displayed at different sizes with different pixels. The high-level properties (dogness) supervene the low-level properties (pixels).
Supervenience, Greene continues, helps explain things like the relationship between science and the humanities. Humanists fear that scientists are taking over their territory and trying to explain everything. But new discoveries about the brain don’t explain Macbeth. The products of the mind supervene the mechanisms of the brain. The humanities can be informed by the cognitive sciences even as they supervene them.
If I were presumptuous enough to nominate a few entries, I’d suggest the Fundamental Attribution Error: Don’t try to explain by character traits behavior that is better explained by context.
I’d also nominate the distinction between emotion and arousal. There’s a general assumption that emotional people are always flying off the handle. That’s not true. We would also say that Emily Dickinson was emotionally astute. As far as I know, she did not go around screaming all the time. It would be useful if we could distinguish between the emotionality of Dickinson and the arousal of the talk-show jock.
Public life would be vastly improved if people relied more on the concept of emergence. Many contributors to the Edge symposium hit on this point.
We often try to understand problems by taking apart and studying their constituent parts. But emergent problems can’t be understood this way. Emergent systems are ones in which many different elements interact. The pattern of interaction then produces a new element that is greater than the sum of the parts, which then exercises a top-down influence on the constituent elements.
Culture is an emergent system. A group of people establishes a pattern of interaction. And once that culture exists, it influences how the individuals in it behave. An economy is an emergent system. So is political polarization, rising health care costs and a bad marriage.
Emergent systems are bottom-up and top-down simultaneously. They have to be studied differently, as wholes and as nested networks of relationships. We still try to address problems like poverty and Islamic extremism by trying to tease out individual causes. We might make more headway if we thought emergently.
Clay Shirkey nominates the Pareto Principle. We have the idea in our heads that most distributions fall along a bell curve (most people are in the middle). But this is not how the world is organized in sphere after sphere. The top 1 percent of the population control 35 percent of the wealth. The top two percent of Twitter users send 60 percent of the messages. The top 20 percent of workers in any company will produce a disproportionate share of the value. Shirkey points out that these distributions are regarded as anomalies. They are not.
Jonathan Haidt writes that “humans are the giraffes of altruism.” We think of evolution as a contest for survival among the fittest. Too often, “any human or animal act that appears altruistic has been explained away as selfishness in disguise.” But evolution operates on multiple levels. We survive because we struggle to be the fittest and also because we are really good at cooperation.
A few of the physicists mention the concept of duality, the idea that it is possible to describe the same phenomenon truthfully from two different perspectives. The most famous duality in physics is the wave-particle duality. This one states that matter has both wave-like and particle-like properties. Stephon Alexander of Haverford says that these sorts of dualities are more common than you think, beyond, say the world of quantum physics.
Douglas T. Kenrick nominates “subselves.” This is the idea that we are not just one personality, but we have many subselves that get aroused by different cues. We use very different mental processes to learn different things and, I’d add, we have many different learning styles that change minute by minute.
Helen Fisher, the great researcher into love and romance, has a provocative entry on “temperament dimensions.” She writes that we have four broad temperament constellations. One, built around the dopamine system, regulates enthusiasm for risk. A second, structured around the serotonin system, regulates sociability. A third, organized around the prenatal testosterone system, regulates attention to detail and aggressiveness. A fourth, organized around the estrogen and oxytocin systems, regulates empathy and verbal fluency.
This is an interesting schema to explain temperament. It would be interesting to see others in the field evaluate whether this is the best way to organize our thinking about our permanent natures.
Finally, Paul Kedrosky of the Kauffman Foundation nominates “Shifting Baseline Syndrome.” This one hit home for me because I was just at a McDonald’s and guiltily ordered a Quarter Pounder With Cheese. I remember when these sandwiches were first introduced and they looked huge at the time. A quarter pound of meat on one sandwich seemed gargantuan. But when my burger arrived and I opened the box, the thing looked puny. That’s because all the other sandwiches on the menu were things like double quarter pounders. My baseline of a normal burger had shifted.  Kedrosky shows how these shifts distort our perceptions in all sorts of spheres.
There are interesting stray sentences throughout the Edge symposium. For example, one writer notes, “Who would be crazy enough to forecast in 2000 that by 2010 almost twice as many people in India would have access to cell phones than latrines?”


Sunday, May 22, 2011

Thursday, November 11, 2010

Fenomena Aneh Dalam Otak Kita

Sampai saat ini masih banyak mysteri yang belum terungkap dari pikiran kita. Para ahli memang bisa menjelaskan fenomena-fenomena aneh dari pikiran kita tapi masih belum tahu dari mana asal semua itu. Mungkin kalian pernah mengalami beberapa fenomena di bawah ini:
1. Déjà VuDéjà Vu adalah perasaan ketika kita yakin pernah mengalami atau menyaksikan suatu kejadian sebelumnya, kamu merasa peristiwa itu sudah pernah terjadi dan berulang lagi. Hal ini diikuti dengan perasaan familiar yang kuat, takut dan merasa aneh. Kadang “kejadian sebelumnya” itu dikaitkan dengan mimpi, tapi kadang juga timbul perasaan yang mantap kalau kejadian tersebut benar-benar terjadi di masa lalu.


2. Déjà VécuDéjà Vécu adalah perasaan yang lebih kuat dari Déjà Vu. kalau Déjà Vu kita merasa sudah pernah melihat kejadian sebelumnya, tapi dalam Déjà Vécu kita akan mengetahui peristiwa tersebut jauh lebih detail, seperti mengingat bau dan suara-suara pada kejadian tersebut.

3. Déjà VisitéDéjà Visité adalah perasaan yang tidak biasa dimana kita merasa mengenal suatu tempat padahal sebelumnya kita tidak pernah mengunjugi tempat tersebut. Kalau Déjà vu berhubungan dengan peristiwa, sedangkan Déjà Visité berkaitan dengan tempat atau geografi. Nathaniel Hawthorne dalam bukunya yang berjudul “Our Old Home” bercerita saat dia mengunjungi reruntuhan sebuah kastil, tiba-tiba merasa kalau dia sudah sangat mengenal layout dari kastil yang baru pertama kali dia datangi itu. Belakangan dia sadar kalau bertahun-tahun sebelumnya dia pernah membaca puisi karangan Alexander Pope yang menggambarkan dengan detail kastil tersebut.

4. Déjà SentiDéjà Senti adalah fenomena “pernah merasakan” sesuatu. Kejadiannya contohnya seperti ini : “Kamu merasa pernah mengatakan sesuatu, dipikiran kamu mengatakan, “Oh iya aku ngerti!” atau “Oh iya aku ingat!” tapi 1 atau 2 menit kemudian kamu akan sadar kalau kamu sebenarnya tidak pernah mengatakan apa-apa”.

5. Jamais VuJamais Vu (tidak pernah melihat/mengalami) adalah kebalikan dari déjà vu. Jadi kamu tidak mengenal sebuah situasi padahal kamu yakin sekali kalau sebelumnya kamu pernah ada di situ. Bingung? Begini gampangnya: kamu mendadak tidak mengenal orang, kata-kata, atau tempat yang sebelumnya kamu tahu. Pada percobaan yang dilakukan Chris Moulin pada 92 orang yang disuruh menulis kata “pintu” 30 kali dalam waktu 60 detik ternyata 68 orang mengalami gejala Jamais Vu, yaitu merasa kalau “pintu” itu bahkan bukan merupakan sebuah kata. Ya Jamais Vu didiagnosis karena “kelelahan otak”.

6. Presque VuPresque Vu adalah perasaan yang kuat kalau kamu akan mengalami epiphany. Epiphany sangat jarang terjadi. Presque Vu artinya “hampir melihat” dan sensasinya bisa sangat membingungkan dan aneh.

7. L’esprit de l’EscalierL’esprit de l’Escalier adalah saat kita merasa bisa melakukan sesuatu yang lebih baik pada sebuah situasi setelah peristiwa itu terjadi. Contohnya begini: Kamu seorang pemain sepak bola, saat tendangan penalti kamu menendang bola ke samping kiri dan ternyata berhasil diblok kiper. Tiba-tiba pikiran kamu mengatakan, “Ahh, aku sebenernya tadi sudah yakin kalau nendang ke kanan pasti gol!” Jadi L’esprit de l’Escalier adalah rasa penyesalan tidak melakukan tindakan yang berlawanan dari suatu peristiwa sebelumnya.

8. Capgras DelusionCapgras Delusion adalah fenomena dimana kita merasa yakin kalau keluarga atau teman dekat kita sebenernya adalah orang lain yang wujudnya sama persis. Seperti cerita-cerita di film Alien dimana tubuh manusia diambil alih oleh makhluk luar angkasa agar bisa hidup berdampingan dengan manusia biasa. Khayalan ini biasa terjadi pada penderita schizophrenia atau kelainan mental lain.

9. Fregoli DelusionFregoli Delusion adalah fenomena otak yang sangat jarang terjadi. Orang yang mengalami Fregoli Delusion sangat percaya kalau beberapa orang yang dia kenal sebenarnya adalah satu orang yang melakukan berbagai penyamaran. Fregoli berasal dari nama aktor Italia “Leopoldo Fregoli” yang bisa melakukan merubah penampilan dengan cepat dalam pertunjukannya.

10. ProsopagnosiaProsopagnosia adalah fenomena dimana seseorang kehilangan kemampuan untuk mengenal wajah orang atau benda lain yang seharusnya mereka kenal. Orang yang mengalami ini biasanya menggunakan indera lain untuk mengingat orang tersebut, seperti bau parfum, gaya bicara atau cara berjalan orang itu. Contoh yang paling terkenal dari kasus ini dipublikasikan oleh Michael Nyman dalam bukunya yang berjudul “The man who mistook his wife for a hat”.

Sumber : kaskus.us

Sunday, October 17, 2010

Sembilan Tipe Kecerdasan Manusia


1.Kecerdasan LinguistikKecerdasan dalam mengolah kata-kata secara efektif baik bicara ataupun menulis (jurnalis, penyair, pengacara). Ciri-ciri :- Dapat berargumentasi, meyakinkan orang lain, menghibur atau mengajar dengan efektif lewat kata-kata- Gemar membaca dan dapat mengartikan bahasa tulisan dengan jelas

2. Kecerdasan Matematis-LogisKecerdasan dalam hal angka dan logika (ilmuwan, akuntan, programmer). Ciri-ciri :- Mudah membuat klasifikasi dan kategorisasi- Berpikir dalam pola sebab akibat, menciptakan hipotesis- Pandangan hidupnya bersifat rasional

3. Kecerdasan Visual-SpasialKecerdasan yang mencakup berpikir dalam gambar, serta mampu untuk menyerap, mengubah dan menciptakan kembali berbagai macam aspek visual (arsitek, fotografer, designer, pilot, insinyur)Ciri-ciri :- Kepekaan tajam untuk detail visual, keseimbangan, warna, garis, bentuk dan ruang- Mudah memperkirakan jarak dan ruang- Membuat sketsa ide dengan jelas


4. Kecerdasan Kinestetik-JasmaniKecerdasan menggunakan tubuh atau gerak tubuh untuk mengekspresiakan gagasan dan perasaan (atlet, pengrajin, montir, menjahit, merakit model). Ciri-ciri :- Menikmati kegiatan fisik (olahraga)- Cekatan dan tidak bias tinggal diam- Berminat dengan segala sesuatu

5. Kecerdasan MusikalKecerdasan untuk mengembangkan, mengekspresikan dan menikmati bentuk musik dan suara (konduktor, pencipta lagu, penyanyi dsb). Ciri-ciri :- Peka nada dan menyanyi lagu dengan tepat- Dapat mengikuti irama- Mendengar music dengan tingkat ketajaman lebih

6. Kecerdasan InterpersonalKecerdasan untuk mengerti dan peka terhadap perasaan, intensi, motivasi, watak dan temperamen orang lain (networker, negotiator, guru). Ciri-ciri :- Menghadapi orang lain dengan penuh perhatian, terbuka- Menjalin kontak mata dengan baik- Menunjukan empati pada orang lain- Mendorong orang lain menyampaikan kisahnya

7. Kecerdasan IntrapersonalKecerdasan pengetahuan akan diri sendiri dan mampu bertidak secara adaptif berdasar pengenalan diri (konselor, teolog). Ciri-ciri :- Membedakan berbagai macam emosi- Mudah mengakses perasaan sendiri- Menggunakan pemahamannya untuk memperkaya dan membimbing hidupnya- Mawas diri dan suka meditasi- Lebih suka kerja sendiri

8. Kecerdasan NaturalisKecerdasan memahami dan menikmati alam dan menggunakanya secara produktif dan mengembangkam pengetahuan akan alam(petani, nelayan, pendaki, pemburu). Ciri-ciri :- Mencintai lingkungan- Mampu mengenali sifat dan tingkah laku binatang- Senang kegiatan di luar (alam)

9. Kecerdasan EksistensialKecerdasan untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam eksistensi atau keberadaan manusia (filsuf, teolog,). Ciri-ciri :- Mempertanyakan hakekat segala sesuatu- Mempertanyakan keberadaan peran diri sendiri di alam/ dunia

sumber: http://berita-apa-aja.blogspot.com/2010/09/9-jenis-kecerdasan-manusia.html

Tuesday, August 24, 2010

Metode Mnemonik - Metode untuk Mengingat

Pada dasarnya pemacu ingatan atau mnemonik adalah alat untuk mengingat. Secara peristilahan, mnemonik adalah kata yang sudah ada sejak seribu tahun yang lalu atau lebih. Orang yunani kuno dahulu sangat memuja kemampuan ingatan sehingga mereka mempunyai dewa yang bernama Mnemosyne – berarti berpikir masak-masak — yang berkedudukan sebanding dengan dewa cinta dan kecantikan.

Sejumlah strategi ingatan dirancang oleh negarawan Yunani dan Romawi pada masa itu untuk membantu mereka mengingat sejumlah besar informasi, untuk membuat pendengar terkesan saat mereka berpidato atau berdebat di Senat. Dewasa ini, kata mnemonik mengacu pada teknik-teknik pemacu ingatan secara umum Banyak orang baru menyadari bahwa ketika mereka menerapkan teknik mnemonik untuk mengingat sesuatu, proses ingatan akan lebih mudah. Mnemonik selalu menggunakan prinsip asosiasi, yaitu informasi yang diingat dikaitkan dengan informasi yang lain yang mudah dingat.

Macam-Macam Teknik Dalam Metode Mnemonik Dalam Meningkatkan Daya Ingat
1. Teknik Loci
Loci berarti lokasi adalah alat mnemonik yang berfungsi dengan mengasosiasikan tempat-tempat atau benda-benda di lokasi yang dikenal dengan hal-hal yang ingin anda ingat. Misalnya anda akan memberikan presentasi yang mengandung tiga topik utama. Setiap bagian presentasi akan dihubungkan dengan pasak (penanda) yang mewakili urutan isi presentasi. Misalnya, mari bayangkan sebuah ruangan kelas. Pot tanaman yang ada di sudut ruangan adalah hal pertama yang anda lihat ketika maju ke depan. Anda memilih pot tanaman itu untuk mengingatkan anda pada ucapan selamat pada guru dan teman-teman anda di kelas. Piagam-piagam yang terpasang di dinding dipilih untuk mengingatkan anda pada topik selanjutnya, dan mungkin pintu kelas dipilih untuk mengingatkan bagian penutup dari presentasi yang akan anda sampaikan.
Apabila anda ingin menggunakan metode ini, maka pilihlah tempat yang akrab dengan anda seperti rumah, atau mobil anda. Contoh lain misalnya anda ingin mengingat daftar belanjaan yang terdiri dari tomat, mi, pisang, dan saus sambal. Anda tahu bahwa anda akan pulang ke rumah menyetir mobil dan harus mampir ke swalayan dalam perjalanan pulang. Luangkan waktu anda untuk membayangkan ini. Tomat-tomat itu pecah dan berserakan di bagasi mobil, anda menutup pintunya dan tomat-tomat itu muncrat keluar. Bakmi bergelantungan di kaca spion, roti melompat ke luar dari radio mobil, pisang terinjak di lantai, botol saus berada di atas kepala anda.
Kini, ketika anda memasuki mobil untuk pulang dari tempat kerja dan ingin mengingat apa yang harus anda beli, anda hanya perlu melihat ke bagasi, dan yang lain-lainnya akan bermunculan kembali dalam bayangan anda.
Semakin aneh dan konyol imajinasi anda ini, semakin mudah untuk mengingatnya.


2. Teknik Kata Kunci
Metode mnemonik ini telah digunakan orang selama bertahun-tahun, terutama untuk mengingat kata-kata bahasa asing dan konsep abstrak. Metode ini adalah asosiasi lain yang mengaitkan secara verbal dan visual kata yang berlafal mirip dengan kata atau konsep yang harus diingat. Misalnya untuk mengingat kata prokasinasi (suka menunda-nunda mengerjakan tugas) kita mengasosiasikannya dengan kata porkas (undian olahraga) karena kata itu mudah kita ingat, jadi kita coba mendekatkan prokas dengan porkas lalu hanya tinggal menambah kata inasi jadilah kita mengingat kata prokasinasi. Contoh lain, untuk mengingat arti kata hiperbola (suka berlebihan dalam menceritakan sesuatu), coba bayangkan seorang kiper yang tidak dapat menangkap bola yang melambung terlampau tinggi.

3. Teknik Kata Penghubung
Menghubungkan adalah proses mengaitkan atau mengasosiasikan satu kata dengan kata yang lain melalui sebuah aksi atau gambaran. Strategi ini biasa digunakan dengan sistem kata penanda untuk mengingatkan serangkaian informasi dalam urutan tertentu. Dengan strategi kata penanda yang telah diajarkan tadi, misalnya nomor telepon 438-0367 dapat diingat dengan dihubungkan dengan (4) roda mobil mogok ditarik oleh bemo beroda (3) sampai di sebuah sirkuit balap (8) yang kosong (0). Bemo beroda (3) itu membawa telur setengah lusin (6) untuk makan selama semingu (7). Atau anda ingin mneyederhanakan proses mengingatnya dengan mengkombinasikan nomor dalam beberapa unit, sehingga nomor 1945-1965 dapat diingat dengan tahun kemerdekaan Indonesia yang coba dikudeta oleh PKI. Kunci dalam membuat hubungan adalah menggunakan imajinasi. Hubungan yang dibentuk tidak perlu logis atau realistis, yang penting hubungan itu memicu ingatan anda.

4. Akronim
Akronim adalah satu kata yang terbuat dari huruf pertama dari serangkaian kata. Salah satu akronim yang terkenal adalah NASA, badan ruang angkasa Amerika Serikat, singkatan dari National Aeronautics and Space Administration. Nama-nama organisaai sering dipendekkan dalam bentuk akronim, misalnya PSSI akronim dari persatuan sepakbola seluruh Indonesia. Akronim terkadang memasukkan huruf kedua (biasanya huruf vokal) agar singkatan lebih mudah terbaca seperti jabotabek (JAkarta, BOgor, TAngerang, BEKasi) tetapi akronim tidak harus selalu membentuk kata. Gunakan imajinasi anda jika harus mengingat lima hal yang harus anda lakukan saat pulang ke rumah (misalnya, bersih-bersih, mencuci, memasak, menelpon, dan membaca koran). Anda dapat memicu ingatan anda dengan membuat akronim BC-M2K

5. Akrostik
Akrostik seperti akronim, juga mengggunakan huruf-huruf kunci untuk membuat konsep abstrak lebih konkret, sehingga mudah diingat. Namun, akrostik tidak selalu menggunkan huruf pertama dan tidak selalu menghasilkan singkatan dalam bentuk satu kata, informasi yang diingat dalam akrostik dapat berbentuk kalimat atau frase tertentu. Akrostik juga dikenal dengan nama "jembatan keledai" misalnya untuk mengingat urutan warna-warni pelangi digunakan akrostik mejikuhibiniu : merah, kuning, hijau, biru, nila, ungu. Contoh lain kita dapat mengingat huruf-huruf Qoloqolah dalam pelajaran tajwid membaca alquran dengan membuat akronim "baju di toko" (ba, Jim, Dal, Tho, Qof).

Penutup
Ingatan merupakan suatu proses biologi, yakni informasi yang diberi kode, disimpan serta dipanggil kembali. Karena ingatan merupakan suatu proses, maka mungkin saja terjadi, proses tersebut terjadi secara baik, dan dapat pula terjadi proses tersebut mengalami gangguan sehingga berproses kurang optimal. Keluhan yang dikemukakan orang bahwa "saya adalah orang bodoh, tidak memiliki kemampuan, dan daya ingat saya lemah" tentunya sangat berbeda dengan kapasitas yang sesungguhnya kita miliki. Kita sebagai manusia memiliki otak yang memiliki kehebatan yang luar biasa bahkan melebihi computer. Akan tetapi terkadang kita tidak tahu bagaimana memanfaatkan kehebatan otak tersebut, terutama dalam mengingat sesuatu.

Kemampuan kita mengingat sesuatu sesungguhnya luar biasa, tetapi mungkin terdapat beberapa factor yang membuat proses itu terganggu. Factor yang mempengaruhi kemampuan kita dalam mengingat sesuatu adalah seberapa besar minat kita terhadap informasi yang mau diingat tersebut, kemudian tidak konsentrasi dalam mengingat, serta kondisi psikologis kita. Agar proses mengingat kita dapat berjalan dengan baik, maka kita harus memperhatikan factor-faktor tersebut.

Hal yang sangat penting harus kita perhatikan dalam mengingat sesuatu adalah menggunakan teknik yang dapat mempermudah kita mengingat sesuatu, misalnya teknik mnemonik seperti teknik loci, kata kunci, akronim, akrostik, serta kata penghubung. Menggunaan teknik mnemonik dalam mengingat suatu informasi memiliki banyak keuntungan, baik waktu yang diperlukan untuk mengingat lebih singkat, serta ingatan tersebut akan tersimpan dalam ingatan jangka panjang kita. Membiasakan menggunakan teknik mnemonik dalam kehidupan kita sehari-hari mungkin akan membuat anda merasa heran dan ajaib, cobalah !

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...