Tuesday, May 31, 2011

Ketika Tuhan Bilang Tidak

Ketika aku meminta, " Tuhan.. ambillah kesombongan dariku."
Dan Tuhan bilang, "Tidak",
Tuhan bilang, "bukan Aku yang mengambil tapi kau yang harus menyerahkannya. "

Ketika aku meminta, " Tuhan.. sempurnakanlah kekurangan tubuhku."
Dan Tuhan bilang, "Tidak",
Tuhan berkata, "Jiwa dan roh mu telah utuh, tubuhmu hanya sementara yang akan binasa.
Perhiasan batiniahmu yang terdiri dari keberadaan diri sejati, yaitu roh yang lemah lembut dan tenteram, itulah yang berharga di mata-Ku."

Ketika aku meminta, " Tuhan.. berikanlah aku kesabaran."
Dan Tuhan bilang, "Tidak",
Tuhan berkata, "Tidak, kesabaran didapat dari ketabahanmu ketika imanmu dicobai. Itu tidak diberikan, tetapi diraih."

Ketika aku meminta, " Tuhan.. beri aku kebahagiaan. "
Dan Tuhan bilang, "Tidak",
Tuhan berkata, "Aku memberi berkat dan kasih karunia, tapi kebahagiaan tergantung pada pilihanmu sendiri untuk menghargai berkat dan anugrah-Ku itu."

Ketika aku meminta, " Tuhan.. jauhkan daripadaku kesusahan."
Dan Tuhan bilang, "Tidak",
Tuhan berkata, "Penderitaan menjauhkanmu dari jerat duniawi dan membawamu lebih dekat kepada-Ku."

Ketika aku meminta, " Tuhan.. berikanlah aku semua yang aku ingini dalam hidupku supaya aku bisa menikmatinya. "
Dan Tuhan bilang, "Tidak",
Tuhan berkata, "Aku memberimu kehidupan supaya kamu menikmati semuanya."

Ketika aku meminta, " Tuhan.. bantu aku mencintai orang lain, sebesar cinta-Mu padaku."
Dan Tuhan bilang, "Tidak",
Tuhan berkata, "Akhirnya kau mengerti."

Berbahagialah bila doa-doamu belum dijawab karena mata TUHAN sedang tertuju padamu untuk memberikan kepadamu yang terbaik yang belum kamu ketahui dan tidak pernah kamu pikirkan sebelumnya, sehingga pada saat kamu diberkati oleh-Nya bibir dan mulutmu tidak akan berhenti bersyukur dan memuji kebesaran nama -Nya......

Saturday, May 28, 2011

PASSION: Ungapping Performance and Potential -A Contemplation

Images
Hari Minggu pagi, bagi sebagian dari kita, saat dimana kita pergi ke Gereja. Minggu ini ada suatu hal yang saya dapatkan. PASSION! Sewaktu kam sekeluarga berjalan menuju pelataran parkir sehabis ibadah, saya melihat sepasang muda-mudi dengan kisaran umur 18-20 tahun berjalan kaki dengan penuh semangat menuju tempat ibadah, entah kenapa saat melihat hal tersebut ada sesuatu yang menggelitik saya...Kemudian sesaat setelah sampai dikediaman kami, saya kembali tergelitik dengan apa yang saya lihat tadi dan saya teringat saat-saat pertama kali saya mulai pergi ke tempat ibadah kurang lebih 15 tahun lalu, di waktu-waktu itu saya mengalami apa yang diistilahkan oleh sepasang muda-mudi adalah cinta pertama untuk pergi ke tempat ibadah, saat itu hujan sederas apa pun, saat itu tubuh secapai apa pun, singkatnya dalam keadaan apa pun saya sangat menanti-nantikan untuk pergi ke tempat ibdadah tersebut untuk melakukan ibadah bersama yang lainnya dan setiap kali pula saat ibadah saya mendapatkan sesuatu yang baru dan luar biasa. Saya teringat bagaimana dalam keadaan kuyup sekali pun atau tanpa kursi sekali pun sepanjang ibadah, saya tetap bisa sangat menikmati waktu-waktu itu. Saat mengenang masa-masa itu muncullah satu kata dalam benak saya, yaitu PASSION

PASSION secara literal bisa diartikan adalah gairah, berapi-api, namun seringkali istilah tersebut berkesan ke arah yang lain, maka saya memilih analogi lain yang menurut Ekuslie Goestandi di mingguan KONTAN (25 September 2006) sebutkan adalah PENGALAMAN DI SAAT-SAAT CINTA PERTAMA MULAI BERSEMI....
Tentu kita semua pernah atau minimal tahu apa itu cinta pertama...entah cinta itu adalah dalam arti EROS, PHILEO, atau pun AGAPE....pastilah kita semua tahu saat hal terebut muncul hati dan pikiran kita senantiasa dipenuhi oleh cinta tersebut. Kita pasti tahu bagaimana pengalaman cinta pertama kita kepada kekasih kita, apa pun kita lakukan yang terbaik buat si dia, bukan? Selalu berusaha memberi lebih dari pada yang diharapkan oleh pasangan kita. Semuanya itu dilakukan dengan sukarela, sukacita, tulus dan tanpa mengharapkan balasan apa pun, yang penting si dia senang. Mulai dari anter bolak-balik kampus, menunggu dia keluar kuliah walaupun kita terguyur hujan sekali pun atau traktir si dia sekalipun bikin dompet langsung tandas, apa lagi jika si dia sedih pasti lah kita langsung kelabakan dan berusaha sekuat mungkin untuk menghilangkan kesedihannya.Kita lakukan semua itu tanpa mengharapkan imbalan dalam segala bentuknya seperti kompensasi, balas jasa ataupun bayaran, bukan?
Nah, sepenggal analogi di atas menggambarkan apa yang diistilahkan adanya PASSION di hati kita. Singkatnya ada GIVING MY BEST SPIRIT di hati kita. Inilah yang saya pikir dapat membuat hidup kita untukNYa, untuk pasangan kita, untuk keluarga kita, untuk pekerjaan kita dan untuk dunia tempat dimana kita hidup bisa membawa dampak yang sangat positif dan menyenangkan. Dalam konteks kehidupan ibadah dan berkeluarga saya kira PASSION bukanlah hal yang asing lagi, namun bagaimana dalam konteks dunia kerja?
PASSION di dunia kerja??? Bagaimana mungkin? bukankah jika kita melakukan hal itu bisa-bisa kita dimanfaatkan yang lain???
Saya termenung cukup lama ketika hal ini muncul. Lalu saya teringat dengan satu slogan yang sdh menjadi sangat biasa, yaitu bekerja itu ibadah, jujur saya diingatkan slogan ini oleh salah satu rekan kerja saya secara tidak sengaja. Ya, betul bekerja dengan sebaik mungkin juga adalah PASSION dari ibadah kita padaNya dan juga bekerja juga adalah bagian dari PASSION kita untuk pasangan kita dan keluarga kita. Siapa sih yang nnga senang kalau kita bekerja dengan sepenuh hati, bukan?
Nah bagi perusahaan di tempat kita bekerja, PASSION ini juga diperlukan dan bisa berdampak luar biasa. Perusahaan atau unit kerja kita jika berhasil menciptakan unsur PASSION sebagai bagian dari lingkungan kerjanya dapat membantu untuk mendongkrak PERSONAL PERFORMANCE setiap SDM mencapai OPTIMAL POTENTIAL ABILITY nya.
Menurut Brian Tracy terkait potensi setiap manusia adalah :3
“The potential of the average person is like a huge ocean unsailed, a new continent unexplored, a world of possibilities waiting to be released and channeled toward some great good.”
Seperti kita ketahui secara umum pastilah sering dirasakan adanya Gap antara PERFORMANCE dan POTENTIAL. Nah, salah satu yang bisa mengexplore potensi di samudera yang belum terarungi ini dan merekatkan antara PERFORMANCE dan POTENTIAL adalah PASSION. Artikel yang ditulis oleh  Ekuslie Goestandi di mingguan KONTAN (25 September 2006) membahas hal tersebut

Girl With No Fingers Plays the Piano Beautifully

Wednesday, May 25, 2011

The World According To Nassim Taleb

Nassim Taleb combines broad theoretical knowledge with practical experience. Although he is fiercely outspoken, he delivers his challenges to conventional wisdom with a gentle delivery that carries a trace of a French accent. He is one of the world's leading quantitative traders, who has held senior options trading positions at Union Bank of Switzerland, Bankers Trust, Banque Indosuez and CS First Boston. His most recent job in the dealer community was head of global options at CIBC Wood Gundy. In 1991 he suddenly left Wall Street to spend two years as a local on the floor of the Chicago exchanges. Taleb reads classical literature, speaks seven languages and holds a Wharton MBA. He is a PhD candidate at the University Paris-Dauphiné, where he will soon defend his dissertation on option pricing. He is also the author of the book Dynamic Hedging: Managing Vanilla and Exotic Options (Wiley, 1996). Taleb was interviewed in November by editor Joe Kolman.
Derivatives Strategy: What problems do you have with financial engineering?
Nassim Taleb: I disagree with such an approach in financial risk management. Some people looked at the literature and saw differential equations and said, "Gee, it's like engineering."
Engineering relies on models because you can capture the relationships in the physical world very well. Models in the social sciences serve a different purpose. They make strong assumptions. Economists have known for a long time that math in their profession has a different meaning. It's just a tool, a way to express yourself.

DS: So real engineering could lead to a bridge that you could reliably drive cars across. But modeling in financial engineering isn't certain enough to run a portfolio ...
NT: Exactly. In finance, you are not as confident about the parameters. The more you expand your model by adding parameters, the more you become trapped in an inextricable apparatus of relationships. It is called overfitting.
DS: What do you think of value-at-risk?
NT: VAR has made us replace about 2,500 years of market experience with a co-variance matrix that is still in its infancy. We made a tabula rasa of years of market lore that was picked up from trader to trader and crammed everything into a co-variance matrix. Why? So a management consultant or an unemployed electrical engineer can understand financial market risks.
To me, VAR is charlatanism because it tries to estimate something that is not scientifically possible to estimate, namely the risks of rare events. It gives people misleading precision that could lead to the buildup of positions by hedgers. It lulls people to sleep. All that because there are financial stakes involved.
To know the VAR you need the probabilities of events. To get the probabilities right you need to forecast volatility and correlations. I spent close to a decade and a half trying to guess volatility, the volatility of volatility, and correlations, and I sometimes shiver at the mere remembrance of my past miscalculations. Wounds from correlation matrices are still sore.
DS: Proponents of VAR will argue that it has its shortcomings but it's better than what you had before.
NT: That's completely wrong. It's not better than what you had because you are relying on something with false confidence and running larger positions than you would have otherwise. You're worse off relying on misleading information than on not having any information at all. If you give a pilot an altimeter that is sometimes defective he will crash the plane. Give him nothing and he will look out the window. Technology is only safe if it is flawless.
A lot of people reduce their anxiety when they see numbers. They want a triple-digit delta or gamma, for example, not taking into account that it is foolish to be precise with deltas when you don't even know the parameters.
Before VAR, we looked at positions and understood them using what I call a nonparametric method. After VAR, all we see is numbers, numbers that depend on strong assumptions. I'd much rather see the details of the position itself rather than some numbers that are supposed to reflect its risks.
Clearing firms understood that very well. Ironically, the stock market crash coincided with the discovery of this so-called parametric system used to run the risks of option traders. In the old days the clearing firms looked at how many calls you were short and how many you were long, and if you sold a lot of calls they would get nervous and call you up and ask you to liquidate some of them. After they went to parametric monitoring of option positions using second-rate statistical methods, the options traders started building up massive short put positions that, along with portfolio insurance, helped to accelerate the crash. Now they're coming back to square one with their nonparametric methods, particularly with the puts.
DS: Do you think the whole idea of trying to use statistics to model a particular distribution is fraudulent? Or is it possible to come up with something approximating the truth?
NT: The problem we have with statistics is that although we know something about distributions, we know very little about processes. A process is a distribution that has time in it, and things change with time. People look at fat tails and say, "We can simulate distributions with fat tails." But the reason distributions have fat tails may be because these distributions don't have stable properties over time.
DS: VAR proponents will also admit that VAR doesn't work as well on something with an asymmetric payoff.
NT: Yes, but any dynamic trading strategy by a leveraged investor that has a stop loss in it has an asymmetric payoff and needs to be treated like an option. If I trade deutsche mark or bond futures with a stop loss, the frequency of my losses will be greater than the frequency of my profits but the magnitude of my losses will be smaller to compensate. It will look like a payoff of an option, and that's not captured by VAR. The VAR assumes than traders are stuffed animals between two reports.
DS: Are you saying VAR can't be used to measure risks on a trading desk?
NT: The risks of common events perhaps, those that do not matter, but not the risks of rare events. Moreover traders will find the smallest crack in the VAR models and try to find a way to take the largest position they can while showing the smallest amount of risk. Traders have incentives to go for the maximum bang because of the free option they're granted.
DS: What free option is that?
NT: Most institutional traders don't pay for their losses. If you make a dollar you get paid 10 cents. If you lose a dollar you pay zero. That obviously looks like an option payoff.
So let's say your trader trades two bonds of slightly different maturities. They're very close but because they have deceptively close maturities the position will not produce a big VAR number. Sometimes they are treated as the same bond. The position, however, could easily bankrupt the company because of the sheer size that was built on it. An institution just last month lost bundles because a trader built up massive positions in Bunds against German swaps; their system, otherwise sophisticated, did not differentiate between them.
DS: What's going to happen if everybody in the financial system starts using VAR?
NT: VAR players are all dynamic hedgers and need to revise their portfolios at different levels. As such they can make very uncorrelated markets become very correlated. Those who refuse to learn from the portfolio insurance debacle do not belong in risk management.
In 1993 hedge funds were long seemingly independent markets. The first margin call in the bonds led them to liquidate their positions in the Italian, French and German bond markets. Markets therefore became correlated.
VAR is a school for sitting ducks. Find me a dynamic hedger who is a reluctant liquidator and I will front-run him to near-bankruptcy.
DS: So one problem with VAR models is that they don't account for the fact that the market corrects for the models that trades are based on?
NT: Bingo. Even more: Our perception of what's going on in the real world can hurt us simply because we have to realize that we are the major players ourselves and we act according to our perceptions. In physics it's called the Heisenberg uncertainty principle. In the social sciences its even more pronounced.
When people ask me what alternative to VAR I have to offer, my answer is smaller leverage, less naïve diversification, less reliance on dynamic hedging.
DS: Are all correlations suspect?
NT: You can find a relationship between any two items if you look hard enough. It may be entirely spurious and have no predictive power, but you will find one. To give you an idea, you'll always find what we call data miners who will show you that there is a 100 percent correlation between his great aunt's blood pressure and the back-month Nikkei volatility. When you're a trader you get a lot of calls from people who found relationships that can produce a 10 Sharpe ratio. That means it's almost impossible to lose money on the trade. Sure enough, when you start trading you realize that the relationship was not there. Trading has fewer biases than statistics.
DS: What are the most common mistakes you see traders and risk managers making?
NT: As a trader, my job is to understand biases and trade on them. There are all kinds of biases. The most common is the small sample bias. Let's say you have 1:1,000 odds you will come home every day with a dollar and once in a while you lose $1,000. Many traders show very steady incomes but they could be fooling themselves because they don't have a long enough period to chart their performance. Their Sharpe ratio will not be indicative.
In option trading there is a similar bias. Short premium option traders, typically those who sell out-of-the-money options, are more likely to make money on a daily basis and then blow up. Likewise the yield hogs, those traders who would take any risk for a few basis points. You can fool yourself with your Sharpe ratios, and you can fool all of the financial engineers, but you can't fool an old Chicago trader who went bankrupt twice.
Another bias is what I call the size bias. If you have 20,000 traders in the market, sure enough you'll have someone who's been up every day for the past few years and will show you a beautiful P&L. If you put enough monkeys on typewriters, one of the monkeys will write the Iliad in ancient Greek. But would you bet any money that he's going to write the Odyssey next? You know that because of the sheer size of the sample, you're likely to find a lucky monkey once in a while. But the same applies to traders.
A third bias is the survival bias. Everybody will tell you that stock investing is a great idea because it's been back-tested by some serious guru and if you had bought one share of some stock during the Revolution you would now own the GNP of some banana republic. But you forget that your back-testing is only on stocks that are alive today and does not cover stocks in imperial Russia that a rational investor would have bought at the beginning of the century. Many continental stocks were recycled into wallpaper. When you look at markets you are only looking at the remnants, the parts that have survived. Or take real estate. People always say it goes up. But that works only if you always bought in places that became fancy.
DS: So essentially, you'd like to replace statistical valuation that's at the center of most derivatives trading with valuation that's more based on experience.
NT: You learn a lot about valuation from trading with other traders, by seeing what others give you and what they take away from you. What they give is generally worth less, and what they take is worth more. It's sort of like cars that are lemons. When you buy a lemon, only the seller knows it's a lemon. You need to drive it for a while to know its a lemon. It's the same with options. You don't know an option is a lemon, but you have to assume if someone is selling it you, you have a high probability of it being a lemon. Very often you won't know the option's value until you actually manage it for a while. Some options hedge very well and some don't.
DS: Can you give me an example?
NT: Sure, take upside calls on the S&P. Retail investors tend to sell a lot of higher-strike calls in equity markets and buy a lot of lower-strike puts. You look at the distributions and you assume you're being compensated with the volatility differential, buying higher-strike calls and selling lower-strike puts. But once you start running it, you will notice that some undetectable behavior makes you lose money on the trade. And your back-testing cannot fully detect that.
It's more intricate than it seems. It's not just the volatility of the upside or the downside, it's the volatility around a particular strike that has a large open interest. We call these "sticky strikes." The markets tend to compress in variation around these strikes. Good traders can sense that.
Also when you buy a stock warrant on an illiquid stock, you need to take into account that your own dynamic hedging, added to that of other dynamic hedgers, will reduce the volatility and stabilize the stock.
DS: You left a job as the senior options at the Union Bank of Switzerland to go to Chicago and become a floor trader. Why did you leave Wall Street? What did you think you were missing by trading from a screen in New York?
NT: I left Wall Street for the first time in 1991. I was obsessed with price formation. I couldn't understand from the screen how prices were determined. It took me six months to be able to read prices in the pit. Locals basically read information from the order flow and squeezed the weak party. There's always a pack of five or six dominating locals who abruptly change the prices, who bid a lot higher than the previous offer and have the guts to do it, and the rest of them follow.
DS: How did that knowledge change the way you trade when you went back to trading from a screen?
NT: It is the most enriching experience for a trader. I learned more about market dynamics in my second six months than from years on a desk. I learned that traders' income is not the bid-offer spread, but the micro-squeezes that take place. Markets move from squeezes to squeezes. Traders make money on stop losses and other free options. It made me interested with information economics.
DS: You're not ready to give up on all quantitative techniques. You were trained as an econometrician. You don't make wild speculative bets and I assume you try to hire traders who have some kind of quantitative skills.
NT: I have the following problem. Anytime I take a street-smart kid with a strong Brooklyn accent and train him or her in quant methods, I develop a wonderful quant trader who knows how to squeeze the sitting ducks. When you take extremely quantitative trainees, particularly from the physical sciences, and try to make them arbitrage traders, they freak out and become pure gamblers. They can't see the edge, and they become the sitting ducks. The world has too much texture, more than they can squeeze into the framework they're used to. I see a huge incidence of pure speculative gambling on the part of these people who are hired on the strength of their knowledge of quantitative methods.
DS: How about risk managers? What do you look for in risk managers that you hire?
NT: I try to probe their minds to see what makes them tick. And I start quizzing them quite unfairly about market history. I ask them about what happened to the correlation between bonds and mortgages on the day when the stock market crashed. I quiz them about the gold rally in the early 1980s. I test to see if they intuitively understand squeezes. If they don't show any interest in data, in any true market history, I stop the interview and send them home. To me it is extremely dangerous to have in such positions people who only trust equations. You can't get the edge if you learn just from your own mistakes. You need to learn from other people's mistakes as well and these are public information.
DS: Where do you think research in the financial markets is heading? What's valuable and what's not?
NT: Financial economics has been extremely successful at melding the math with economic insight. This is providing traders with better understanding of derivatives pricing. My motto is that the markets follow the path that hurts the highest number of dynamic hedgers. It was exciting to read a mathematical proof of it by Grossman and Zhou in the latest Journal of Finance. We are having less success with the frenetic financial engineering efforts, which have a lot of mathematical acrobatics but a hollow ring.

Tuesday, May 24, 2011

Cinta Itu Ilmiah Kata Ilmuwan

Cinta itu ilmiah, kata ilmuwan

Leovdworp/stock.xchng
Peneliti dari Syracuse University, Profesor Stephanie Ortigue, menemukan ada 12 area pada otak yang bekerja pada saat seseorang jatuh cinta. Kedua belas area itu menghasilkan bahan kimia, seperti dopamine, oxytocin, adrenalin, dan vasopression, yang berujung pada euforia. Rasa cinta juga memengaruhi fungsi psikologi, metafora, dan penilaian fisik.


Jadi, cinta itu berasal dari hati atau otak? "Pertanyaan yang selalu sulit dijawab. Saya berpendapat asalnya dari otak," kata Ortigue. "Contohnya, suatu proses di otak kita bisa menstimulasi hati. Beberapa perasaan dalam hati kita sebetulnya merupakan gejala atas proses yang terjadi di otak."


Penelitian lain mendapati peningkatan jumlah darah dalam faktor penumbuh untuk syaraf yang memegang peranan penting dalam cara orang bersosialisasi. Hal ini menghadirkan fenomena yang disebut dengan "cinta pada pandangan pertama". Hal ini dikonfirmasi oleh temuan Ortigue yang menyebutkan kalau cinta bisa hadir dalam waktu seperlima detik.


Ortigue menjelaskan dengan memahami cara orang jatuh cinta dan putus cinta, para peneliti bisa mengembangkan terapi baru. "Kita bisa mengerti penyakit putus cinta," kata Ortigue.


Studi Ortigue juga mendapati ada bagian otak yang berbeda untuk tipe cinta yang berbeda. Cinta tanpa syarat, contohnya cinta seorang ibu pada anaknya, dipicu oleh aktivitas otak di bagian umum dan pada tempat yang berbeda-beda, termasuk otak tengah. Cinta yang bergairah antara kekasih melibatkan area kognitif, bagian yang mengharapkan imbalan, dan penilaian fisik.

The Priest Trailer

The Verdict Definiton @ This Blog

Mungkin diantara pengunjung blog ini, awalnya begitu melihat header blog ini sempat bertanya-tanya, bukan karena diawali dengan kata "danton's" tapi istilah dibelakangnya yang cukup jarang ditelinga kita (Indonesia).

Sejujurnya, saya sendiri saat mencari ide untuk judul blog ini juga tidak tahu secara persis definisi dari kata "Verdict".....Masa??? Iya, betul. Saya hanya meraba-raba istilah ini dari salah satu buku yang saya baca, buku tersebut sudah lama cukup terkenal dan bahkan sekarang di toko-toko buku sudah diterbitkan dalam edisi gold-nya. Buku tersebut berjudul "Dunia Sophie" - Sebuah novel Jostein Gaarder, yang bercerita tentang sejarah dan perjalanan ilmu filsafat yang dikemas dalam sebuah cerita dengan tokoh utama seorang gadis cilik bernama Sophie.


Istilah "Verdict" saya dapatkan saat membaca halaman yang menunjukkan judul asli buku tersebut adalah Sofie's Verden (Norwegia) dan dalam bahasa Inggrisnya: Verdict.
Dalam hukum Verdict adalah pernyataan formal oleh juri diakhir persidangan untuk menentukan apakah pihak terdakwa dinyatakan bersalah atau tidak bersalah.

Begitu saya tahu ini, "Wuiiihhh....Danton's Verdict....??? Bisa berarti kesimpulan akhir saya atas sebuah fakta apakah itu benar atau salah????.....Waduh, saya tidak bermaksud sejauh itu ketika membuat blog ini!!!"

"Jika lebih diperhalus bisa saja Danton's Verdict berarti opini saya terhadap berbagai fakta yang sudah, sedang dan akan terjadi.....!" Pikiran saya langsung mengambil alih keterkejutan saya sebelumnya. 

Namun ketika saya telusuri lebih jauh di wikipedia (salah satu sumber andalan saya dalam mencari referensi terutama terkait dengan pencarian definisi) ternyata Robin Brinsmead (1978) menerbitkan sebuah majalah dengan judul Verdict sebagai bentuk respon dia atas keberadaan majalah kristiani yang telah beredar sebelumnya yang memiliki arti kurang lebih sama, yaitu "The Voice of Present Truth" (An Adventist Magazine). Robin sendiri mengalami perbedaan pendapat dengan aliran Kristen Advent ini, sehingga dia memilih menjadi Liberal Christianity dengan memberi nama majalahnya "Verdict".

"The Voice of Present Truth...???? Lagi-lagi pikiran saya melonjak...!!! Tidak...tidak...tidak sedalam itu tujuan saya membuat blog ini....lalu kalo begitu apa?"

Beberapa saat saya termenung, lalu saya menyadari bahwa hakekat di atas segala hakekat adalah kebenaran,,,saya setuju itu. Tapi apa kebenaran itu sendiri? Kebenaran yang mana? Absolut? Relatif? Interdimensi? Universal? Subjektif? Objektif? dsb...dsb....yang saya yakin tiada akhirnya...

Akhirnya saya putuskan dari berbagai pilihan di atas tujuan dari blog ini adalah "Exploring The Shoreless of The Earth In His Divinity" seperti yang tertulis du baris kedua header blog ini yang artinya kurang lebih mengeksplorasi ketakterbatasan dunia ini dalam keIlahian-Nya. Lebih detil maksudnya adalah di dunia ini telah, sedang dan akan, ada ketidakterbatasan data, informasi, pengetahuan dan kebijaksanaan. Dalam keterbatasan insani marilah kita eksplorasi hal di atas dengan bersandar sepenuhnya dalam keIlahian-Nya.....

SBI Stabilisator Atau Agresor


Ada dua isu ekonomi yang paling hangat dalam dua minggu terakhir. Pertama, gagasan berbagai kalangan untuk mengamandemen UU No 3 tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Kedua, gagasan penghapusan Sertifikat Bank Indonesia (SBI).
Gagasan pertama dimaksudkan untuk mengubah aturan BI, khususnya peranan bank sentral dalam mendorong kinerja perekonomian nasional. BI yang sejak tahun 1999 tidak lagi menyalurkan kredit likuiditas atau biasa disebut dengan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), diusulkan untuk dihidupkan kembali, sebagaimana yang menjadi salah satu bagian fungsi BI dalam UU No. 13 Tahun 1968 tantang Bank Sentral.
Gagasan kedua dimaksudkan untuk menghilangkan fasilitas SBI sebagai tempat penyimpanan dana-dana perbankan. Sebab keberadaan SBI dinilai menjadi faktor yang mendorong melemahnya penyaluran kredit oleh perbankan. Di samping itu, keberadaan SBI juga menjadi beban bagi keuangan negara, karena APBN harus membayar bunga SBI, yang secara umum berada di atas suku bunga deposito.

Ambiguitas PerekonomianKedua gagasan ini, walau pun hilirnya datang dari dua arah yang berbeda, namun alirannya bersimpul dalam satu muara, yakni gagasan-gagasan untuk meningkatkan kinerja sektor riil. Kedua gagasan yang terkesan nyeleneh -dilihat dari kacamata teori ekonomi- namun tetap dapat dihargai karena pesan (massage) yang disampaikan sangat jelas, yakni upaya menggerakkan sektor rill.
Ada beberapa pesan (massages) penting yang dapat ditarik dari kedua gagasan ini. Pertama, adanya kekhawatiran terjadinya pembusukan ekonomi akibat tidak bergeraknya sektor riil. Jika sektor riil tetap tidak bergerak, konsekuensi yang harus dihadapi adalah penurunan kesejahteraan masyarakat. Pengangguran akan meningkat dan daya beli akan terus melorot.
Kedua, kebingungan para penggagas memahami ambiguitas perekonomian. Memang sangat tidak mudah memahami kinerja perekonomian Indonesia yang mendua (ambigu), di mana sisi makro terus mengalami perbaikan namun di sisi mikro tetap terpuruk. Secara teori, perbaikan makroekonomi akan dengan sendirinya merangsang perbaikan mikroekonomi, khususnya sektor riil. Namun sejak beberapa tahun sejak tercapainya perbaikan ekonomi makro, kinerja ekonomi mikro tetap tidak membaik.
Ketiga, dibutuhkan langkah-langkah yang revolusioner untuk menggerakkan sektor riil, termasuk di dalamnya langkah-langkah yang ekstralegalitas. Maka mencuatlah kedua gagasan itu, walaupun penggagasnya sendiri menyadari hal itu bertentangan dengan undang-undang.
Penghapusan SBIJika gagasan pertama datang dari beberapa anggota DPR, maka gagasan kedua justru datang dari seorang menteri dan Ketua Kamar Dagang dan Industri (KADIN). Tidak kurang dari Menteri Perindustrian Fahmi Idris bersuara keras meminta agar SBI ditiadakan. Demikian juga dengan Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) MS Hidayat menyerukan hal yang sama.
Permintaan kedua pemangku sektor riel itu, memang sangat beralasan. Keberadaan SBI justru dimanfaatkan perbankan sebagai lahan bisnis baru untuk mendapatkan keuntungan. Logikanya, dengan hilangnya SBI, perbankan tidak memiliki pilihan lain, kecuali menyalurkan dananya ke dunia usaha.
Namun pertanyaannya, apakah kemandegan kinerja sektor riil menjadi alasan penghapusan SBI? Nampaknya, langkah itu merupakan sesuatu hal yang tidak mungkin diwujudkan, paling tidak dalam waktu dekat. “Kalau saat ini SBI langsung dihapuskan, dengan cara apa kita mengatur kelebihan likuiditas?” ujar Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin, seperti dikutip Harian Kompas, Senin (19/2).
Dibutuhkan waktu yang cukup panjang untuk mempersiapkan instrumen baru pengganti SBI.
Rencananya, BI tengah menyiapkan beberapa alternatif, seperti Treasury Bill di Amerika Serikat atau Surat Perbendaharaan Negara (SPN) di Indonesia ataupun SBI overnight. “Jadi, saya harap semua pihak bisa bersabar. SBI akan dihapuskan secara bertahap seiring dengan penerbitan SPN yang saya dengar akan dilakukan pada kuartal ini,” ujarnya.
Berita Indonesia pun yakin, permintaan Menteri Perindustrian Fahmi Idris itu, tidak benar-benar dimaksudkan untuk menghapus SBI, terlebih dalam waktu dekat. Jika Fahmi Idris benar-benar ingin menghapuskan SBI dalam waktu dekat, maka ia pasti memberi alternatif pengganti SBI untuk mengelola stabilitas moneter.
Di samping itu, sebagai mantan pelaku usaha dan mantan anggota DPR yang sejak menapaki karirnya di Senayan, selalu menggeluti komisi-komisi yang berkaitan dengan ekonomi, Fahmi Idris pastilah menyadari ketidakmungkinan mencabut SBI, terlebih-lebih tanpa adanya pengganti instrumen stabilisator moneter.
Permintaan Fahmi Idris yang terkesan ketus, mungkin hanyalah bentuk kemarahan terhadap perilaku para bankir yang hanya mengejar keuntungan dengan mengabaikan fungsi utamanya sebagai penyalur kredit kepada dunia usaha. Perilaku para bankir itu, telah dengan tragis mengabaikan keterpurukan sektor riil.
Namun ironisnya, berbagai kalangan justru menyetir pernyataan Menteri Perindustrian itu, sebagai sesuatu yang layak dilakukan. Bahkan, mereka sepertinya tidak lagi sempat mempertimbangkan risiko yang bakal muncul dari penghapusan SBI.
Fungsi Pengendalian Gejolak MoneterAda kata-kata bijak yang menyatakan, “Jangan membakar lumbung untuk mengusir tikus” atau “Palu tidak dibutuhkan untuk membunuh nyamuk”. Pemeo ini seharusnya menjadi acuan dalam menghadapi persoalan mandeknya sektor riil.
Memang benar, dengan tidak adanya fasilitas SBI, tidak boleh tidak, perbankan harus mengalokasikan dananya ke sektor riil. Namun risiko moneter yang berpotensi timbul dari penghapusan SBI, juga sangat luar biasa. Volatilitas moneter yang sewaktu-waktu muncul, menjadi tidak terkendali tanpa instrumen pengendali, sebagaimana fungsi SBI.
Sesungguhnya, filosofi keberadaan SBI dimaksudkan sebagai pengendali atau stabilisator perekonomian. SBI berfungsi menyeimbangkan permintaan (demand) dan penawaran (supply) melalui penyesuaian jumlah uang beredar. Jika uang beredar terlalu banyak hingga mendorong perekonomian pada ancaman inflasi, BI akan memperkecil jumlah uang beredar melalui operasi pasar pelelangan SBI dengan tingkat suku bunga yang lebih tinggi dari tingkat inflasi saat itu.
Bank-bank akan menempatkan dananya di SBI selama marjin keuntungan dari bunga SBI dianggap layak oleh perbankan. Sebaliknya, jika perbankan merasa tingkat keuntungan dari penempatan dana di SBI lebih rendah dari penyaluran kredit, mereka sudah barang tentu tidak menempatkan dananya di SBI.
Seiring dengan menurunnya laju inflasi, keuntungan perbankan dari penempatan SBI menjadi semakin kecil, dan pada saat itu perbankan akan menarik dananya dari SBI untuk kemudian disalurkan menjadi kredit. Dengan penyaluran kredit ini, keuntungan perbankan akan jauh lebih besar.
Namun permasalahan yang muncul di Indonesia saat ini adalah keengganan bank-bank menarik dananya dari SBI. Alasan satu-satunya adalah faktor risiko yang nihil dari penempatan dana di SBI, walau pun keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Celakanya, pembiayaan sektor riil menjadi mandul. Dalam kondisi demikian, SBI telah menjadi aggressor atau penggangu perekonomian.
SPN Tidak MemadaiDi tengah-tengah gagasan penghapusan SBI, berbagai kalangan juga sudah mengusulkan penggunaan beberapa sistem pengendali moneter, namun menurut Deputi Gubernur Aslim Tadjuddin, hanya dua instrumen yang layak digunakan, yakni SPN dan SBI Overnight.
SPN atau Surat Perbendaharaan Negara adalah semacam surat utang jangka pendek yang diterbitkan Departemen Keuangan. Dana yang diperoleh atas penerbitan SPN ini digunakan untuk membiayai proyek-proyek pemerintah. Namun jumlah penerbitan SPN sangat terbatas jika dibandingkan dengan jumlah SBI.
Maksimal jumlah SPN yang akan diterbitkan Departemen Keuangan, tidak akan melebihi jumlah defisit anggaran. Jika bertitik tolak dari APBN 2007, jumlah SPN yang mungkin diterbitkan pemerintah hanya berkisar Rp 35 triliun hingga Rp 40 triliun.
Nilai SPN ini sangat kecil jika dibandingkan dengan jumlah SBI yang mencapai Rp 237 triliun. Dengan demikian, SPN tidak dapat diharapkan efektif menjadi penghendali moneter karena daya serapnya yang terbatas.
Namun demikian, Deputi Gubernur BI Aslim Tadjuddin, sangat positif. “Kalau uang di SBI itu kan sifatnya idle. Tapi kalau ditempatkan ke T-Bills atau SPN kan bisa digunakan untuk pembiayaan proyek-proyek pemerintah, infrastruktur, dan lain-lain,” jelas Aslim, seperti dikutip Investor Daily, Kamis (17/1).
SBI Overnight Terhalang BenchmarkSementara itu, alternatif lain pengganti SBI adalah SBI overnight. Perbedaan di antara keduanya terletak pada tingkat suku bunga. Tingkat suku bunga SBI yang merupakan realisasi dari BI Rate (suku bunga acuan BI), membuat beban bunga SBI yang ditanggung APBN sangat tinggi.
Karena merupakan implementasi BI Rate, tingkat suku bunga SBI menjadi lebih tinggi dari suku bunga komersial. Ukuran bunga komersial mengacu pada tingkat suku bunga deposito. Oleh karena itulah, SBI menjadi lahan bisnis yang sangat menarik bagi bank, karena memberi keuntungan yang cukup memadai.
Oleh karena itulah BI sedang mengkaji penggunaan SBI Overnight untuk mengganti SBI, dengan tingkat suku bunga yang saat ini berada pada kisaran 4% hingga 5%. Deputi Gubernur BI Hartadi A. Sarwono mengakui banyak negara yang sudah meninggalkan instrumen SBI dan beralih menggunakan sinyal moneter jangka pendek overnight atau tujuh hari.
Bank Sentral AS (Federal Reserve) juga menggunakan benchmark suku bunga berdasarkan overnight. Dengan peralihan sinyal moneter ke SBI Overnight, diharapkan menjadi langkah awal untuk mempercepat perbankan untuk menurunkan suku bunganya ke level yang kondusif bagi dunia usaha.
Namun menurut Hartadi, implementasi SBI Overnight masih terkendala pada benchmark (patokan) karena segmentasi perbankan yang masih terlalu besar, yakni antara bank-bank kecil dengan bank-bank besar. Di antara keduanya berbeda dalam penentuan tingkat bunga overnight. “Biasanya bank besar seperti itu jika meminjam di pasar uang antarbank overnight akan lebih murah dibanding bank kecil,” kata Hartadi, sebagaimana dikutip Investor Daily, Kamis (17/1). MH 

Monday, May 23, 2011

Diana Krall Vid - Just The Way You Are

Does Using Technology Always Make You More Efficient

Whether and to what extent we should simplify our lives and get "back to basics" is a debate that has been going on since the invention of writing. As the rate of technological progress increase at an accelerating pace, a counter trend is emerging where technological development is not inherently synonymous with progress. Proponents of Appropriate Technology (AT) argue that progress can only be achieved with technology that is designed with special consideration to what it is intended for.

Anything you can do, a machine could theoretically do faster, better, more efficiently but is this really true? The GPS software on my cell phone, for example, can navigate me from one place to another much faster and more efficiently than a human navigator could except that the GPS stops working if I blunder into an area into which the network's signal won't reach. My calendar, which is on the Internet, can be reached from any computer or from my cell phone, and updated from both places. It will send me automated reminders to do things at a certain time but sometimes the reminders themselves will slow me down, or a reminder will come into my phone when I'm trying to talk to someone or when I'm trying to use that GPS locator -- oops, just missed that turn -- thanks, GCal.




I'm not against technology. In fact, I love it or I wouldn't be keeping my calendar on the Internet and giving my contact information to Google. However, simpler is usually better, and there are times when the simplest technology works the best. Well, consider pen and paper. I think that not only is the pen mightier than the sword, it's mightier than Google Tasks, Remember the Milk, or Toodledo. If the aim is to remember what to do, then the simple act of physically writing them down does the job: It helps you to remember. This phenomenon is supported by research and here's how:


1. Most of our knowledge about the world comes from three places: our eyes, our ears, and our hands. Educators are finding that writing and drawing, activities you do with a pen or pencil and paper, help the brain to understand concepts, especially concepts that have to do with language. A functional MRI study on the neural substrates for writing confirms this. Because we are set up to learn in large part through what our hands do, thus hands-on forms of learning tend to be more effective. So writing things down helps us to remember more than making a virtual online to do list would because we get our hands more involved.


2. Hands are so helpful when it comes to learning and remembering that some teachers say using sign language (spoken with the hands) in the classroom can help students to concentrate and focus. So writing is not the only way to engage the hands in order to facilitate learning and concentration.


3. The brain remains plastic even as we age. Even though adults are not in school all the time, we can still hope to learn and develop while we work even as we get older. Neurologists say that even after the 40s, an adult brain can continue to rewire itself, make new connections, and learn new things. So brain research related to children's literacy (reading and writing) applies to adults, not just to kids.


4. Being productive is all about concentrating, focusing, learning, remembering things, and above all, staying sharp. I want my work habits to support me in staying sharp, not to cause me to get lost in a mental fog in which I try to convince myself that I don't have to remember anything because Google will remember it for me. According to neuroscientists, adults can even become more intelligent as they age, if they take the opportunity to continue learning.


That's why, I write down my to do list on a sheet of paper instead of typing it away and depending on technology to do the job for me. I also don't rely on digital recorders to keep track of ideas in meetings, I use the old-fashioned method; taking notes with a pen and paper. Moreover, I find that I remember most of what I hear when I write it down. Ironically, I end up not having to refer to my notes. I save the notes, though and becomes useful when sometimes my colleagues like to borrow them.


So, how do you use technology appropriately?

Unique Matchstick Art

Korek api batangan mungkin adalah salah satu benda yang mulai ditinggalkan dalam kehidupan modern ini. Namun dengan kreativitas, batang demi batang korek api dapat disusun sedemikian hingga untuk menjadi sebuah objek apa pun, salah satunya dapat berupa bangunan-bangunan indah di atas. Luar biasa bukan, terinspirasi untk mencoba membuatnya, mulai dari yang paling sederhana ....^_^, hanya saja hati-hati dengan ujung korek yang masih baru, jangan deket2 dengan sumber yang mudah menjadi api...selamat mencoba.... 

Pulau Dengan Ekosistem Terunik

Banyak pulau-pulau terpencil di seluruh dunia memiliki beberapa fauna dan flora yang unik di dunia. Beberapa spesies tanaman dan hewan tidak ditemukan di tempat lain dan telah berevolusi khusus.

Karena pulau-pulau ini menyediakan tempat berlindung dari persaingan ketat yang dihadapi oleh spesies di benua itu, spesies akan berkembang memanfaatkan kondisi yang mereka hadapi.


Sebagai warisan sejarah evolusi unik, ekosistem ini adalah harta alam yang tak tergantikan. Berikut ini adalah daftar 10 pulau ekosistem yang paling unik di dunia.


1. Mona Island
Pulau Mona terletak di tengah Mona Passage dan secara administratif merupakan bagian dari Puerto Rico. Ini adalah yang terbesar dari tiga pulau yang terletak di selat, yang lain adalah Pulau Monito and Pulau Desecheo.

Pulau ini ditemukan oleh Columbus tahun 1493, selama perjalanannya yang kedua ke Dunia Baru. Pulau Mona telah menjadi cagar alam sejak 1919 dan tak berpenghuni lebih dari 50 tahun.





Karena topografi dan ekologi yang unik maka Mona, Desecheo dan Monito telah dijuluki sebagai "Kepulauan Galapagos Karibia".

Iguana Mona yang tidak ditemukan di tempat lain di dunia, dianggap spesies yang paling spektakuler di pulau itu.


Sebagai herbivora asli terbesar yang berasal dari ekosistem ini, maka sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara iklim dan vegetasi.


Pulau ini juga rumah bagi banyak gambar gua yang ditinggalkan oleh penduduk pulau pada masa pra-Columbus.


2. Sir Bani Yas
Sir Bani Yas adalah pulau terbesar alam di Uni Emirat Arab. Selama dua dekade terakhir pulau itu telah dirubah menjadi suaka margasatwa oleh oleh penguasa Uni Emirat Arab, Sheikh Zayed.

Jutaan pohon ditanam dan banyak spesies hewan diperkenalkan ke pulau, termasuk rusa, rhea, jerapah, dan burung unta.

The Arabian gazelle, jenis kijang, sekarang sudah punah di alam liar, tetapi Sir Bani Yas Island adalah rumah bagi lebih dari 400 ternak yang berkeliaran dengan bebas di pulau itu.


3. Lord Howe Island
Lord Howe Island adalah sebuah pulau kecil di Laut Tasman, 600 kilometer (370 mil) timur dari daratan Australia.

Lord Howe Island adalah sebuah contoh luar biasa dari suatu ekosistem pulau yang dikembangkan dari aktivitas gunung berapi bawah laut, memiliki keragaman pemandangan langka, flora dan fauna.


Hampir setengah dari tanaman asli pulai ini merrupakan endemic. Salah satu yang paling terkenal adalah Howea, yang merupakan anggota genus palm yang dikenal dengan palm kentia dan dapat menjadi tanaman penghias rumah.

Beberapa juta diekspor setiap tahun yang merupakan sebuah industri besar di pulau itu selain pariwisata. Pulau Lord Howe berpenduduk sekitar 350 orang. Hanya 400 wisatawan yang diizinkan untuk mengunjungi pulau ini pada satu waktu.

4. Mount Bosavi
Gunung Bosavi adalah sebuah gunung berapi di Dataran Tinggi Selatan Provinsi Papua New Guinea. Sebuah ekspedisi pada tahun 2009 oleh sebuah tim ilmuwan internasional dan kru televisi dari BBC telah menemukan lebih dari 40 spesies.

Sebelumnya tidak diketahui ketika mereka turun ke kawah dalam Gunung Bosavi dan mengeksplorasi habitat hutan perawan yang dipenuhi kehidupan yang telah berkembang dalam isolasi sejak gunung berapi meletus terakhir pada sekitar 200 000 tahun yang lalu.

Spesies yang ditemukan di tempat ini adalah 16 spesies katak, setidaknya 3 ikan, aneka serangga, laba-laba, kelelawar dan seekor tikus raksasa, berukuran 82 cm (32 inci) dari hidung ke ekor dan berat sekitar 1,5 kg.


5. Ogasawara Islands
Kepulauan Ogasawara adalah sebuah kepulauan yang terdiri dari 30 pulau subtropis dan tropis, secara administratif merupakan bagian dari Tokyo tetapi terletak sekitar 1.000 kilometer (620 mil) di selatan kota.

Sampai 1830, Kepulauan Ogasawara tidak berpenghuni dan disebut "Muninjima" (berarti "pulau tak berpenghuni") yang berubah nama menjadi Bonin Islands.


Karena mereka telah bebas dari aktivitas manusia sampai saat ini, ekosistem pulau telah dijaga dengan baik. Kepulauan Ogasawara kadang-kadang disebut sebagai Galapagos Timur.

Saat ini ada sekitar 2.300 orang yang tinggal di pulau Chichijima dan Hahajima, dan sekitar 17.000 wisatawan mengunjungi pulau-pulau setiap tahun, karena tertarik oleh ekosistem pulau yang unik dan keindahan lautnya.


6. Mount Roraima
Sebuah “gunung meja” ditemukan di dataran tinggi Guyana di Amerika Selatan. Tepui yang tertinggi (2772 m/9094ft) dan paling terkenal adalah Gunung Roraima.

Karena gunung benar-benar diisolasi dari tanah hutan, hampir sepertiga dari spesies tanaman hidup di Roraima berevolusi di sana menjadi bentuk yang unik di dataran tinggi.


Gunung Roraima telah dibuat terkenal pada tahun 1912 ketika Sir Arthur Conan Doyle menulis novel fiksi yang berjudul The Lost World.

Dia menggambarkan pendakian gunung Roraima oleh sebuah ekspedisi untuk mencari tanaman prasejarah dan dinosaurus yang ternyata mereka hidup terisolasi dan tidak berubah selama jutaan tahun di puncak gunung.


7. Christmas Island
Dinamakan pada 1643 untuk hari penemuan, Christmas Island merupakan wilayah Australia di Samudera Hindia. Pulau ini terletak 2.600 kilometer (1.600 mil) barat laut kota Perth.

Kota ini memiliki populasi sekitar 1.400 jiwa. Geografis yang terisolasi dan sejarah gangguan manusia yang minimal di pulau menyebabkan endemic yang tinggi di antara flora dan fauna di sana.

Spesies endemik pulau yang paling terkenal mungkin adalah kepiting merah. Meskipun terbatas pada wilayah yang relatif kecil, diperkirakan bahwa sampai saat ini terdapat 120 juta kepiting merah dapat hidup di pulau itu, sehingga menjadi yang paling melimpah dari 14 spesies kepiting darat di Christmas Island.


Migrasi massal tahunan kepiting merah ke laut untuk bertelur telah disebut salah satu keajaiban dunia alami dan berlangsung setiap tahun sekitar November.


8. Socotra
Socotra atau Soqotra, sebuah daerah di lepas pantai Yaman, adalah sebuah kepulauan kecil dari empat pulau di Samudera Hindia. Pulau terbesar, juga disebut Socotra, mempunyai luas sekitar 95% dari daratan kepulauan.

Pulau ini sangat terpencil dan terletak sekitar 240 kilometer (150 mil) timur Tanduk Afrika dan 380 km (240 mil) selatan Semenanjung Arab.


Isolasi waktu geologi di kepulauan Socotra dan panas sengit dan kekeringan telah memberikan kontribusi untuk menciptakan ekosistem yang unik dan menakjubkan.

Survei telah mengungkapkan bahwa lebih dari sepertiga dari 800 atau lebih spesies tanaman dari Socotra yang tidak ditemukan di tempat lain.


9. Komodo National Park
Taman Nasional Komodo adalah sebuah taman nasional di Indonesia terletak di Kepulauan Sunda Kecil. Taman mencakup tiga pulau utama Komodo, Padar dan Rincah, dan 26 yang lebih kecil.

Taman ini awalnya didirikan untuk melestarikan Komodo Naga yang unik, kadal terbesar di dunia. Sejak itu tujuan konservasi diperluas untuk melindungi seluruh keanekaragaman hayati, baik laut dan darat.


Komodo adalah reptil hidup terbesar dan bisa mencapai 3 meter atau lebih panjangnya dan beratnya lebih dari 70 kg. Karena ukuran mereka, kadal ini mendominasi ekosistem pulau di mana mereka tinggal.

Meskipun Komodo kebanyakan makan bangkai hewan yang mati, mereka adalah predator tangguh dan juga akan berburu mangsa termasuk burung, dan mamalia.


10. Galapagos Islands
Kepulauan Galapagos adalah kepulauan kecil yang termasuk pulau vulkanik di Ekuador di Samudra Pasifik bagian timur. Pulau-pulau yang cukup terpencil dan terisolasi, terletak sekitar 1000 km (620 mil) barat Amerika Selatan.

Kepulauan Galapagos terdiri dari 15 pulau utama, tiga pulau yang lebih kecil dan 107 pulau batu dan tersebar di sekitar khatulistiwa.


Kepulauan Galapagos terkenal di duni karena ekosistem yang unik dan pulau yang merupakan sumber inspirasi bagi teori seleksi alam oleh Charles Darwin.



Kura-kura raksasa, singa laut, penguin, iguana laut dan spesies burung yang berbeda semua dapat dilihat dan didekati.


Kontrol ketat terhadap akses wisata diselenggarakan dalam rangka untuk melindungi habitat alam. Pulau-pulau saat ini menerima rata-rata 60.000 pengunjung per tahun.

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...